Mungkin sebagian dari mereka menganggap bahwa video maker, fotografer, musisi adalah hanya ketrampilan iseng dan hoby saja, padahal bagi mereka, juga sedikit bagi saya, hoby dan ketrampilan ini adalah salah satu mata pencaharian atau bahkan satu-satunya sumber mata pencaharian. Bayangkan jika bekerja di industri kreatif ( video maker / fotografer / musisi ) menjadi satu-satunya mata pencaharian dan tidak diberi apresiasi ? bagaimana nasib anak istri dan juga si pekerja kreatif tersebut ?
Memang apresiasi tidak melulu soal nilai / uang, tapi ya mau bagaimana juga, uang adalah goal / pencapaian seseorang dalam bekerja, kecuali untuk bekerja sebagai relawan, bekerja untuk sosial, beda cerita kalau begitu.
foto bareng pemeran dan figuran film pendek |
Kembali ke cerita saya, setelah seminggu lebih tidak ada kabar tentang pembuatan film pendek tersebut, akhirnya di contact lagi, ngobrol soal harga lagi untuk bantu proses pengambilan gambar saja, hingga akhirnya ada kesepakatan harga dan juga tanggal pelaksanaan, begitu juga dengan obrolan seputar alat dan durasi kerja. Hari H, proses produksi berjalan, scene demi scene dilalui hingga akhirnya hampir di penghujung kegiatan, mereka ngobrol soal jasa editing, yang akhirnya terjadi negosiasi langsung ( pengalaman saya, negosiasi langsung cukup menyulitkan, masih mending negosiasi via whatsapp / email, bisa ngasih harga yang teguh dengan pendirian ) , akhirnya terjadi negosiasi di lapangan, yang akhirnya saya bisa mempertahankan standart harga saya, ini tumben banget bisa gini, biasanya kalah ketika nego, terutama kalau client ibuk-ibuk yang punya jurus tawar menawar super duper canggih dan sadis.
Setelah proses produksi selesai, masuk tahap editing dan di sini kebetulan Mas Wiwit, salah satu dari 6 orang yang produksi film pendek ini pengin ikut lihat proses editing, di sini kesempatan saya menunjukan pada beliau bagaimana ribetnya, bagaimana perjuangan dan hal-hal yang terkait dengan pembuatan video / film. Saya tunjukan workspace adobe premiere cc 2017 dengan layer-layer audio video yang numpuk begitu banyak, sepertinya mulai terbuka, mungkin dalam hati beliau berkata “Oh pantesan budget-nya segitu, lha wong ribetnya kaya gini, terus belajar-nya gimana dulu ya ? lama dan pasti tidak sekali langsung bisa, terus sampai jam 2 pagi masih ngedit bahkan sampai subuh, dia istirahatnya kapan ya ? lha wong jam 8 pagi sudah melek lagi, sudah whatsapp’an, ga mungkin juga whatsapp auto reply kan? ” mungkin seperti itu, mungkin lho ya, ini sih cuma imajinasiku. Tapi memang pada akhirnya beliau terbuka, ngobrol soal editing, soal kamera, lalu peralatan pendukung seperti slider, drone, hendheld stabilizer, dan lain sebagainya, hingga beberapa kali buka marketplace untuk cari tahu harganya, akhirnya sedikit mengerti bahwa membuat sebuah video atau film tidak semudah yang dibayangkan tinggal pasang kamera ke tripod kemudian edit menggunakan handphone, pakai viva video atau kine master.
Mas Juna, Pak Akhmad, Mba Ratna, Mba Dewi, Mas Tyas dan Mas Wiwit |
Dari sini bisa saya ambil kesimpulan bahwa sebenarnya bukan salah client ketika mereka menawar harga sadis, peran video maker / videographer / photographer juga harus berperan aktif untuk mengedukasi mereka, memberi gambaran, memberi penjelasan bagaimana proses pra produksi, proses produksi hingga proses paska produksi sebuah video / film atau foto. Memang harus sabar dan tidak boleh terkesan menggurui, butuh proses, butuh pendekatan khusus. Jadi buat temen-temen yang bekerja di industri kreatif semoga tetap semangat, tidak boleh menyalahkan client sepenuhnya, karena mereka sebetulnya hanya butuh mengerti proses sehingga bisa mengapresiasi dan menghargai pekerjaan dan karya kita.